MAZHAB IMAM SYAFI'I(Muhammad Bin Idris)
BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan pada uraian-uraian
materi makalah sebelumnya yang telah kita pelejari, telah kita ketahui tentang
sumber-sumber hukum islam baik dari al
Qur’an,as Sunah maupun sumber-sumber lainya seperti ijma’,Qiyas,ijtihad,dan
lain-lainya.Namun pada zaman dewasa ini ijtihad sangat diperlukan mengingat
problem-problem yang semakin komplek dimasa dewasa ini yang berkaitan dengan
hukum-hukum islam yang bersifat amaliah,sedangkan al Qur’an sebagai pedoman
utama ajaran islam tidak semuanya
dijelaskan dalam al Qur’an secara eksplisit,melainkan harus digali secara
mendalam untuk mendapatkan hukum-hukum
yang terperinci, oleh karena itu dibutuhkanlah ijtihad.
Dalam ilmu ushul
fiqh dikenal para ulama-ulama yang berjtihad
dalam merumuskan hukum -hukum fiqh diantaranya yaitu Imam Hanafi, Imam
Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hanbal.Kita juga perlu untuk mngetahui apa
ijtihad yang telah dilakukan mereka itu? dan landasan dasar yang mereka gunakan
, sehingga kita mengetahui hukum -hukum
itu didambil. Pada kesempatan ini saya akan menjelaskan ijtihad yang dilakukan
oleh Imam Syafi’I .Beliau adalah seorang pendiri Mazhab Syafi’iyah yang sangat
berjasa dalam islam beliaulah orang yang pertama kali menyusun kaidah-kaidah
hukum fiqh secara global dan mensistematikannya. Untuk itu mari kita telaah dan
pelajari ijtihad yang dilakukan nya.
BAB II
PEMBAHASAN
Mazhab
Syafi'i (bahasa Arab: شافعية , Syaf'iyah) yaitu mazhab fiqih yang
dicetuskan oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi'i atau
yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i. Mazhab
ini kebanyakan dianut para penduduk Mesir bawah, Arab Saudi bagian
barat, Suriah, Indonesia, Malaysia, Brunei, pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, dan Bahrain. Imam
Syafi'i terkenal sebagai perumus pertama metodologi hukum Islam. Ushul fiqh (atau
metodologi hukum Islam), yang tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat, baru
lahir setelah Imam Syafi'i menulis Ar-Risalah. Mazhab Syafi'i umumnya
dianggap sebagai mazhab yang paling konservatif di antara mazhab-mazhab fiqh
Sunni lainnya. Dari mazhab ini berbagai ilmu keislaman telah bersemi berkat
dorongan metodologi hukum Islam yang dikembangkan para pendukungnya.
Karena
metodologinya yang sistematis dan tingginya tingkat ketelitian yang dituntut
oleh Mazhab Syafi'i,terdapat banyak sekali ulama dan penguasa di dunia Islam
yang menjadi pendukung setia mazhab ini.Di antara mereka bahkan ada pula yang
menjadi pakar terhadap keseluruhan mazhab-mazhab Sunni di
bidang mereka masing-masing.Saat ini,Mazhab Syafi'i diperkirakan diikuti oleh
28% umat Islam sedunia,dan merupakan mazhab terbesar kedua dalam hal jumlah
pengikut setelah Mazhab Hanafi.
baca juga:Pengakuan pendeta kristen kepada nabi muhammad
baca juga:Pengakuan pendeta kristen kepada nabi muhammad
1. BIOGARAFI IMAM SYAFI’I
Imam Syafi’i adalah imam yang ketiga menurut
susunan tarikh kelahiran. Beliau adalah pendukung terhadap ilmu hadits dan
pembaharu dalam agama islam(mujaddid) pada
abad kedua hijriah. Imam Syafi’i di lahirkan
di kota Gazzah dalam Palestina pada tahun 150 H [1],beliau lahir pada zaman Dinasti Bani Abbas,tepatnya pada zaman kekuasaan Abu
Ja’far al-Mansur (137-150 H / 754-774 M.Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad ibn Idris al-‘Abbas ibn Utsman ibn
Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn ‘Abd al-Muthalib
ibn ‘Abd Manaf.
Pengembaraan Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu
kebeberapa daerah, seperti di Mekah beliau belajar hadits dan fiqh. Kemudian
ketika umur beliau tiga belas tahun
beliau mengembara ke Madinah. Di Madinah beliau belajar dengan
imam Malik hingga meninggal dunia. Setelah itu beliau melanjutkan pengembaraan
ilmunya ke Irak beliau belajar fiqh dengan Muhammad ibn al-Hasan beraliran
hanafi (murid Imam Abu Hanifah). Setelah selesai menunutut ilmu dari beberapa
daerah tersebut “Imam Syafi’i kembali ke Mekah dengan membawa pengetahuan
tentang fiqh Irak. Kemudian beliau mengajar di Masjidil Haram, ia mengajarkan
fiqh dalam dua corak, yaitu corak
madinah dan corak Irak, beliau mengajar di Masjidil Haram selama 9 tahun”.
Di samping itu,
al-Syafi’i berguru kepada beberapa ulama selama tinggal di Yaman, Mekah dan
Madinah. Lima diantara ulama Yaman yang menjadi guru Imam
Syafi’i adalah (1) Mutharraf ibn Mazim, (2) Hisyam ibn Yusuf, (3) ‘Umar ibn Abi
Salmah, dan (4) Yahya ibn Hasan. Sedangkan guru Imam Syafi’i petama adalah
Muslim Khalid Az Zinji, seorang ulama Mekah. Dengan pengembaraan menuntut ilmu,
mengajar dan mengamalkan ilmunya ke beberapa daerah tersebut, maka beliau
menjadi seorang ulama besar dan terkenal.
I. Dasar Madzhab Syafi’i
Didalam
ar Risalah beliau menerangkan bahwa dasar-dasar Tasyri’ yang dipegangnya ialah:
1.Al Qur’n menurut dzahirnya
2.As Sunnah walaupun Ahad
3.Ijma’
4.Qiyas
Imam Syafi’i telah mengumpulkan
antara thariqat ahlu Ra’yi(rasional) daengan Thariqat ahli Hadist. Lantaran
itulah madzhabnya tidak terlalu cenderung pada salah satu thariqath keduanya
sehingga madzhab beliau berada ada tengah-tengah.adapun uraian beliau mengenai
dasar-dasar itu adalah sebagai berikut:[3]
1.Al Qur’an
Mashdar-mashdar istidlal banyak
namun kesemuanya kembali pada dua dasar pokok yaitu: al Qur’an dan as
Sunnah,akan tetepi dalam sebagian kitabnya beliau mengatakan bahwa as Sunnah
tidak semartabat dengan al qur’an, kemudian dijumpai pula mengatakan as Sunnah
ditempat al qur’an, karena as Sunnah merupakan penjelas bagi al qur’an ,
walaupun hadist ahad tidak senilai dengan al Qur’an.
Kemudian dijawab olehnya, al Qur’an
dan as Sunnah kedua-duanya berasal dari Allah dan kedua-duanya yang membentuk
sumber Syar’at. Mengingat hal ini pandangan beliau sebetulnya sependapat dengan
pandangan kebanyakan shahabat[4] .As Syafi’i menetapkan
bahwa as Sunnah harus diikuti sebagaimana mengikuti al Qur’an, namun demikian,
bukan berarti hadist yang diriwayatkan Nabi semuanya berfaidah yakin beliau
menyamakam as Sunnah dengan al Qur’an ketika mengistinbathkan hukum, juga tidak
memberi pengertian as Sunnah mempunyai kekuatan dalam metetapkan aqidah.Orang
yang mengingkari hadist dalam bidang aqidah tidaklah dikafirkan.
Al Qur’an adalah kitab yang diturunkan
oleh Allah dalam bahasa arab yang murni,yang tidak tercampur dengan bahasa yang
lain. Dan mengharuskan kepada kita untuk belajar bahasa arab, sehingga dapat
mengucapkan Syahadah dengan bahasa arab, membaba al Qur’an dan dzikir-dzikir
yang harus diucapkan dalam bahasa arab seperti: takbir, tahmid, dan lain-lain.[5]
Tujuannya adalah untuk menetapkan
orang yang tidak tahu bahasa arab makna-maknanya dan ushlub-ushlubnya dapat
memahami al qur’an. Dengah kita mengetahui ushlub bahasa arab kita dapat
menetahui maksud ‘am dan khash a Qur’an.
2. As Sunnah
Dalam ar Risalah Imam Syafi’i
mengemukakan sejuml`h hujjah untuk membuktikan bahwa as Sunnah merupakan salah
satu hujjah dari hujjah-hujjah agama.Karena jasa beliau mengumpulkan
dalil-dalil bukti kehujjahan as Sunnah itulah sebabnya imam Syafi’i dijuluki ‘
Nashirus Sunnah’.
Imam Syafi’i mengemukakan lima dalil
yang menandaskan hadist ahad sebagai hujjah, namun ia tidak menempatkannya
sejajar al Qur’an, atau hadist Mutawatir, karena al Qur’an dan hadist
Mutamatirlah yang qath’i tsubutnya, yang dikafirkan orang yang mengingkarinya
dan disuruh untuk bertaubat.
Syarat-syaratnya itu ialah:
1.Perwinya
kepercayaan, ia tidak menerima hadist dari orang yang tidak dipercaya.
2.Berakal,
memahami apa yang diriwayatkan
3.Dhabit, kuat
ingatannya
4.Mendengatkan
langsung dari perawinya
5.Tidak
menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadist itu.
Adapun pertentangan antara sunnah dengan sunnah membagi
pada dua bagian:
1.Ikhtilaf yang dapat
diketahui nasikh mansukhnya.
Diamalkanlah
yang nasikh dan ini tidak dinamakan perselisihan
2.Ikhtilaf yang tidak
dapat diketahui nasikh mansukhnya, bagian ini dibagi maenjadi dua:
a)Yang dapat
dipertemukan haruslah dipertemukan
b)Yang tidak
dapat dipertemukan dan jika terjadi pertentangan yang tidak dapat dipertamukan,
imam Syafi’i menempuh tiga cara:
1)Menentukan
mana yang dahulu dan mana yang kemudian, yang dahulu dipandang mansukh. Yang
harus dicari adalah sejarah wurud hadist itu.
2)Jika tidak
diketahui mana yang dahulu dan mana yang kemudian, maka dikuatkan salah satunya
berdasarkan sanad-sanadnya.
3)Mengambil
hadiat yang dikuatkan petunjuknya atau oleh hadist yang lain.
Hadist yang berlawanan dzahirnya
satu sama lain supaya dikompromikan. Mengkompromikan itu adakalanya dengan
jalan menasakh, adakalanya dengan mentarjihkan salah satunya.
Mengenai kedudukan as Sunnah beliau berkata;
Pertama, menerangkan
kemujmalan al Qur’an seperti menerangkan kemujmalan ayat sholat dan ayat
tentang puasa.
Kedua, menerangkan ‘am
al Qur’an yang dikehendaki ‘amdan yang ‘am dikehendaki khash.
Ketiga, menerangkan
tambahan-tambahan dari fardlu-fardlu yang telah ditetapkan al Qur’an.
Keempat, mendatangkan
hukum-hukum yang tidak ada dalam al Qur’an.
Kelima, menerangkan
mana yang nasikh dan mana yang mansukh.
3. Ijma’
Imam Syafi’i mengatakan ijma’ itu
adalah hujjah dan metapkannya setelah al
Qur’an dan as Sunnah sebelum Qiyas. Qiyas lebih lemah daripada ijma’,
karena sama nilainya dengan tayammum. Ijma’ menurut as Syafi’i ialah kesepakatan
seluruh ulama semasa tarhadap suatu hukum.baca juga:sifat suami yg didamba istri
Ijma’ yang mula-mula mendapat
i’tibar dari as Syafi’i ialah ijma’ shahabat dan menerima ijma’ ditempat tidak
ada nash. Karena beliau menerima ijma’ sebagai hujjah maka ijma’ harus
disepakati oleh semua ulama diseluruh dunia, asy Syafi’i berpendirian ijma’
ulama madinah tidak merupakan ijma’ yang menjadi hujjah Ijma’ yang mula-mula
mendapat i’tibar dari as Syafi’i ialah ijma’ shahabat dan menerima ijma’
ditempat tidak ada nash. Karena beliau menerima ijma’ sebagai hujjah maka ijma’
harus disepakati oleh semua ulama diseluruh dunia, asy Syafi’i berpendirian
ijma’ ulama madinah tidak merupakan ijma’ yang menjadi hujjah.[7] Walaupun Imam syafi’i
menentang pendapat Imam Malik dan mengkritik
para pengikutnya mengenai ijma’ Ulama madinah sebagai hujjah tetapi
beliau tetap menghargai pendapat mereka .
4.Qiyas
As Syafi’i
adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar qiyas. Para Fuqoha sebelumnya
membahas tentang ar Ra’yu tanpa menentukan batas-batasanya.dan dasar
penggunaannya, tanpa menentukan norma-norma ra’yu yang shahih dan yang tidak
shahih.
Oleh karena itu
dibuatlah kaedah-kaedah yang harus dipegangi dalam menentukan mana ra’yu yang
shahih dan mana yang tidak shahih, kemudian kriteria bagi istinbath-istinbath
yang salah, batas-batas qiyas, martabat-martabatnya, dan kekuatan hukum yang
ditetapkan dengan qiyas. Sesudah itu diterangkan pula perbedaan antara qiyas
dengan macam-macam istinbath yang lain yang dipandang kecuali qiyas. Denga
demikian beliaulah merupakan orang yang pertama dalam menerangkan hakekat
qiyas. Akan tetapii imam Syafi’i sendiri belum membuat ta’rif qiyas, namun
penjelasan-penjelasannya , contoh-contoh, bagian-bagiandan syarat-syaranya
telah menjelaskan hakekat qiyas, yang kemudian dibuat ta’rifnyaoleh ulama
ushul.
Ulama ushul menta’rifkan qiyas dengan “Menghubungkan suatu urusan yang tidak
dinashkan hukumnya dengan suatu urusan yang diketahui hukumnya karena bersekutu
dalam illat hukum.”.
Mengetahui
hukum Syara’ menurut Asy Syafi’I ada dua macam:
Pertama, mengetahui secara lengkap zahih dan batin. Orang yang memiliki pengetahuan yang
sedemikian itu mengetahui bena zahir batinnya. Inilah ilmu yang semua manusia
harus mengetahuinya.
Kedua,
mengetahui zahir saja sedang hakekat terserah kepada Allah sendiri. Hal ini
mengenai pengetahuan yang kita peroleh dengan jalan dzan dan dengan jalan
tarjih.
Pengetahuan
yang pertama hanyalah apa yang dinashkan al-Qur’an dan Hadist Mutawatir, atau
sesuatu yang dinukilkan oleh umum umat.
Ilmu
yang zahir saja, sedang hakekat terserah kepada Allah ialah ilmu atau
hukum-hukum yang diperoleh dengan jalan hadist ahad, atau dengan jalan khobar
khashashah, dengan ijma’, dan qiyas. Mengetahui sesuatu dengan jalan-jalan ini,
tidak dapat meyakinkan bahwa demikian ketetapan Allah. Qiyas menghasilkan ilmu
zahir. Mengamalkan ketetapan qiyas, berarti mengamalkan nash, bukan melepaskan
nash.[9]
Asy
Syafi’i mensyaratkan orang-orang yang boleh melakukan qiyas hendaknya mempunyai
beberapa keahlian.
1.Mengetahui benar-benar bahasa arab.
2.Mengerti hukum Allah tentang fardlu, adad,
nasikh, mansukh, ‘am, khas dan petunjuk lafal-lafal itu.
3.Mengetahui as-Sunnah, pendapat-pendapat
ulama salaf dan ikhtilaf
4.Cerdas dan berfikiran tajam.
II. Metode Ijtihad Imam Syafi’i
metoda yang digunakan oleh Imam
Syafi’i yang kita kenal dengan metode Deduktif (umum-khusus).Jadi jelasnya
yang dinamakan metode deduktif ialah pengambilan hukum dari atas
ke bawah yakni dari AL Qur’an, Assunnah,Ijma,Qiyas sampai
dengan Qoidah-Qoidah (yang telah dirumuskan oleh Imam Syafi’i). Jadi Deduktif
adalah kebalikan dari Induktif.
Agar lebih
jelas perhatikan contoh Qaidah Imam Syafi’i berikut:
الأموربمقاصدها
Segala
urusan tergantung kepada tujuan(niat)nya”
Qaidah
tersebut dirumuskan oleh imam Syafi’I didasarkan atas:
a.Firman Allah
:
Surat ali imran ayat 145
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan
izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. barang siapa
menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan
barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala
akhirat itu. dan Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur
b. Sabda
Rasulullah saw. :
انماالأعمال بالنّيات وانمالكلّ امرئ ما نوى,فمن كانت هجرته
الى
اللهورسوله فهجرته الى الله ورسوله (متفق عليه)
“Amal-amal
itu hanyalah dengan niat. Bagi setiap orang hanyalah memperoleh apa yang
diniatkannya.Karena itu barang siapa yang hijrah kepada Allah dan Rasulnya maka
hijrahnya pada Allah dan Rasulnya.”
Jadi contoh
Qoidah tersebut, awal penetapannya karena ada dalil dari Al-Quran dan Asunnah.
Sehingga ketika ada dalil yang menetapkan segala sesuatu (perbuatan) tergantung
pada niatnya (ayat diatas), oleh imam syafi’I dibuatlah Qoidah tersebut yang
mana pada intinya pembuatan Qoidah tersebut disebabkan adanya dalil itu.
Kemudian menurut Imam Syafi’I disari’atkan niat adalah
untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan ‘IBADAT dan ‘ADAT serta untuk
menentukan tingkatan satu sama lain.
III.Corak pemikiran Mazhab Syafi’i
Mazhab
ini terbagi dalam dua kelompok: Pertama, corak pemikiran Al-Syfi’i
ketika masih tinggal diIrak (rasionalis); kedua, corak pemikirannya
setelah pindah keMesir yang mengkolaborasikan corak pemikiran Ulama Hijaz
(tekstual)dan Irak (rasinalis). Corak pemikiran pertama dikenal dengan qaul
qadim (pemikiran lama) dan corak pemikiran kedua dikenal dengan qaul
jadid (pemikiran baru). Dalam qaul qadim al-Syafi’i menuangkan
pemikirannya dalam bukunya al- Hujjah , yang menjadi pedoman
murid-muridnya diIrak, seperti Ibn Hanbal, Al-Za’faroni, Abu Tsaur,
Al-Karabisi, dan lain-lainnya. Sedangkan qaul jadid beliau menuangkan pemikirannya dalam Al-Umm
(buku induk), yang menjadi pedoman murid-muridnya diMesir, diantaranya
al-Buwaithi, al-Muzanni, al-Rabi’, dan lain-lainnya. Jika terjadi pertentangan
antar qaul jadid dan qaul qadim maka yang mayoritas adalah qaul
jadid.
IV. Ciri khas ushul Asy-syafi’i dalam menghadapi nash.
Dalam berdalil dengan
dasar-dasar tasyri’untuk menetapkan hukum berpegang kepada zhir petunjuk
nash dan dipahaminya menurut ketentuan-ketentuan bahasa Arab.Berpegang pada
materi nash. Namun demikian tidak berarti Asy-Syafi’i terus menerus mengikuti
zahir walaupu zahir yang menerima kebalikannya.Mazhah Syafi’i, ialah “memautkan
hukum Syara’ dengan urusan-urusan yang telah tetap dan terus menerus berlaku,
bukan dipautkan dengan sangkaan atau dugaan-dugaan saja.
BAB III
KESIMPULAN
Imam Syafi’i yaitu imam yang ketiga menurut susunan tarikh kelahiran. Beliau adalah
pendukung terhadap ilmu hadits dan pembaharu dalam agama islam (mujaddid) pada abad kedua hijriah. Imam
Syafi’i di lahirkan di kota Gazzah dalam
Palestina pada tahun 150 H Dan wafat
pada tahun 204 H.Dengan studi yang telah beliau lakukan kebeberapa daerah
belajar kepada beberapa guru-guru baik yang berpemikiran rasional maupum yang
berpemikiran pada tekstual hadis dari
hail studinya tersebut menghasilkan pada pemikiran beliau yang moderat tidak
cenderung pada salah satu diantara keduanya.Istinbath yang dilakukan oleh Imam
Syafi’I berlandaskan pada :
1.Al
Qur’an menurut dzahirnya
2.As Sunnah
walaupun Ahad
3.Ijma’
4.Qiyas
Pada zaman
beliau para ulama pada waktu itu banyak yang berselisih pendapat dan belum
adanya pensistemasian kaidah-kaidah dasar fiqh ulama ahli Ra’yi cenderung bebas
dan ahli Hadis cenderung pada tekstual hadis sehingga banyak terjadi
perselisihan diantara mereka.Melihat keadaan seperti itu Imam Syafi’I membuat
kaidah-kaidah dasar yang harus dipegang oleh para mujtahid dalam beristinbat
hukum dan mensitamatiskannya.
Metode
istinbath yang yang dilakukan oleh Imam
Syafi’I yaitu deduktif yaitu pembuatan
kaidah-kaidah dasar secara global yang terbebas dari pengaruh hukum furu’ dari
atas yang diambil dari Qur’an dan Hadist yang kemudian diterapkan pada
furu-furu’nya
DAFTAR PUSTAKA
Habsy ash-Shidiqi ,Teungku Muhammad, Pengantar Ushul fiqh,
Habsy ash-Shidiqi ,Teungku Muhammad, Pustaka Rizki Putra ,
Semarang,1967 pokok-pokok pegangan Imam Madzhab
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh 1997, Ushul Fiqh, Kairo: Dar-al-Fikr al-Arobi
Drs. Ma`sum Zain, Muhammad MA. 2008, Darul Hikmah Jombang dan Maktabah
al-Syarifah al-Khadjah
Dr, Syarbashy, Ahmad, A’immatul Arba’ah,
Dar: al-Jayl, Beirut Libanon
Ridwan
Akbar, Arif, DKK, sejarah tasyri’ islam FPII, Lirboyo, 2006
[1] Ahmad asy Syurbasyi ,Sejarah dan Biografi empat Madzhab, penerbit
Amzah,1991,hal. 141
[2] Jaih hamzah,Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam’REmaja Rosida
Karya,2000,hal. 102
[3] Pengantar ilmu ushul fiqh
[4] Al Risalah: 32, lihat
pokok-pokok pegengan imam madzhab,hal.239, Teungku Muhammah Habsy ash-Shidiqi,
Pustaka Rizki Putra , Semarang,1967
[5] Ar-Risalah, hal. 42,al Muwaffaqath,hal.
43, ibid, hal. 240
[6] pokok-pokok pegengan imam
madzhab,hal. 247, Teungku Muhammah Habsy ash-Shidiqi, Pustaka Rizki Putra ,
Semarang,1967
[7] Ar-Risalah :hal. 534, Al-
Umm j uz 7 hal:242, ibid hal.255
[8] ar Risalah hal. 482, ibid
,hal. 258
[9] ar Risalah hal. 482, 493, 496, 497 , ibid ,
hal. 258
[10] Ibid, hal. 260.
Metode Istinbath Imam syafi'i
Diposkan Oleh: